Kamis, 08 Januari 2009

EKSISTENSI ZAKAT, INFAQ, DAN SHODAQOH DALAM PEREKONOMIAN UMMAT

Pendahuluan

Tidak bisa dipungkiri bahwa ummat Islam saat ini tengah mengalami kemunduran di berbagai bidang. Kemunduran ini antara lain disebabkan oleh kerusakan di bidang aqidah dan akhlaq ummatnya sendiri. Tentu saja hal ini selain merupakan kesalahan ummat Islam sendiri, juga karena strategi global musuh-musuh Islam terhadap ummat Islam di dunia. Selain itu kemunduran ini juga disebabkan oleh kurang kuatnya perekonomian ummat Islam. Padahal, dalam sumber daya manusia, Islam memegang jumlah terbesar, terutama Indonesia.

Menurut Nuryufa dalam Ishlah (1995), besarnya jumlah penduduk muslim tidak berarti apa-apa tanpa dibarengi dengan kesadaran akan kewajibannya untuk ikut menegakkan perekonomian ummat Islam baik melalui zakat, infaq, maupun shodaqoh. Padahal zakat merupakan soko guru dalam mu’amalat, baik secara nafsiyah (spiritual) maupun secara nadiyah (material), karena zakat berperan sangat mendasar dan bersifat permanen dalam menjawab masalah kemiskinan. Sebab itulah zakat, infaq, dan shodaqoh seringkali dipandang sebagai solusi yang paling penting bagi pengentasan kemiskinan, sehingga perlu kesadaran yang menyeluruh dari ummat Islam akan arti penting zakat, infaq, maupun shodaqoh bagi tegaknya perekonomian ummat. Dengan demikian ummat Islam akan mampu menjadi subyek dalam perekonomiannya sendiri.

Arti Penting Zakat, Infaq, dan Shodaqoh

Sesungguhnya apabila ditarik benang merah dari seluruh persoalan ekonomi ummat Islam adalah bagaimana agar kekayaan bumi ini dapat dikelola dan terdistribusi dengan adil, pada seluruh ummat, sehingga tidak ada persaingan yang tidak sehat serta egoisme yang berlebihan yang akan semakin memperlebar jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin. Atau dengan kata lain yang harus dilakukan adalah upaya pendistribusian kekayaan dengan menumbuhkan rasa kesetiakawanan sosial.

Zakat, infaq, dan shodaqoh sebagai landasan ekonomi Islam, soko guru muamalat, serta tiang ekonomi ummat mempunyai kedudukan yang istimewa di dalam Islam, karena bukan semata-mata ibadah (ibadah mahdhah seperti sholat dan puasa) melainkan ia sebagai ibadah yang berkaiatan erat dengan ekonomi, keuangan, dan kemasyarakatan. Disamping itu menurut Mubiyarto (1982), zakat, infaq, dan shodaqoh mengandung hikmah yang bersifat rohaniah dan filosofis. Hikmah tersebut digambarkan dalam berbagai ayat Al Qur’an serta hadits, diantaranya sebagai berikut:

1. Menumbuhsuburkan harta dan pahala serta mampu membersihkan diri dari sifat-sifat kikir dan loba.

2. Melindungi masyarakat dari kemiskinan dan kemelaratan sosial.

3. Mewujudkan rasa solidaritas dan kasih sayang diantara sesama manusia.

4. Merupakan manifestasi kegotongroyongan dan tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa.

5. Mengurangi kefakirmiskinan yang merupakan masalah sosial.

6. Membina dan mengembangkan stabilitas sosial.

7. Merupakan salah satu jalan dalam mewujudkan keadilan sosial.

Menurut Bunasor dalam Al Muslimun (1994), fungsi zakat, infaq, dan shodaqoh dalam Islam ada tiga, yaitu:

1. Spiritual; zakat, infaq, dan shodaqoh adalah kewajiban manusia sebagai konsekuensi ikatannya dengan Allah.

2. Ekonomi; zakat, infaq, dan shodaqoh menghajatkan adanya distribusi pendapatan.

3. Sosial; zakat, infaq, dan shodaqoh dimanfaatkan untuk menolong (solidaritas) sesama ummat manusia.

Disinilah letak keunggulan sistem Islam, karena dalam Islam selain mendorong ummatnya untuk mencari penghasilan setinggi-tingginya (pertumbuhan ekonomi), Islam juga mendorong dan memberikan sistem distribusi kekayaan yang adil sebagaimana zakat, infaq, dan shodaqoh. Dalam hal ini Islam mengobati kemiskinan langsung ke akar permasalahannya, yaitu mengobati keserakahan manusia. Islam memandang bahwa sesungguhnya yang perlu dientaskan terlebih dahulu adalah orang-orang kaya (muzakki), sebab dengan zakat, infaq, dan shodaqoh yang mereka salurkan, maka mereka mengentaskan kemiskinan yang terdapat di dalam diri mereka sendiri, seperti sifat tamak, serakah, dan kikir. Jadi Islam membersihkan mereka dari kemiskinan yang sifatnya ruhiyah, setelah itu dampaknya dapat menyebar ke obyek zakat, infaq, dan shodaqoh.

Sebab-sebab Kurangnya Kesadaran Ummat Islam untuk Zakat, Infaq, dan Shodaqoh, serta Solusinya.

Tingkat kesejahteraan perekonomian ummat Islam akan membaik berbanding lurus dengan tingkat kesadaran ummat untuk menunaikan kewajibannya. Menurut Sulaiman dalam Al Muslimun (1994), ada beberapa sumber dana selain zakat, infaq, dan shodaqoh yang dapat memperbaiki kondisi ekonomi ummat Islam yang sekarang masih lemah ini, yaitu antara lain: pajak, harta yang datang secara tiba-tiba, seperti rampasan perang (ghanimah), barang penemuan yang tidak dikenal siapa pemiliknya, harta pusaka yang tidak ada pewarisnya, dan tanah mati yang bisa dihidupkan kembali.

Merupakan kewajiban ummat Islam untuk ikut perduli dan peka terhadap kondisi ummat di sekitarnya, karena pada dasarnya ummat Islam adalah satu tubuh, sehingga apabila ada bagian tubuh yang merasa sakit, maka pasti seluruh bagian tubuh tersebut akan ikut merasakannya.

Dari beberapa sumber yang terkumpul, ada beberapa sebab yang mengakibatkan kurangnya kesadaran ummat Islam untuk berzakat, berinfaq, maupun bershodaqoh, yaitu antara lain:

1. Merosotnya aqidah dan akhlaq ummat Islam. Ini mengakibatkan ummat Islam enggan mengenal ajaran Islam, sehingga mereka tidak mengetahui kewajiban- kewajibannya sebagai makhluq yang diciptakan Allah untuk menjadi kholifah di bumi. Masing-masing lebih mementingkan kebutuhan hidup pribadinya, tanpa mau perduli dengan nasib orang-orang di sekitarnya, apakah mereka kekurangan, atau bahkan kelaparan. Yang penting adalah dia sendiri hidup bahagia, tenang, tentram, dan tidak kekurangan apa-apa. Penyakit merosotnya aqidah dan akhlaq ini melahirkan sikap egoisme yang akut. Inilah sumber utama rusaknya ukhuwah dan kesetiakawanan sosial yang menjadi sebab semakin lebarnya kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin.

Menurut Saktiawan dalam Al Muslimun (1995), solusi yang bisa dilakukan terhadap masalah ini adalah dengan da’wah dan tarbiyah Islamiyah, agar masing-masing individu manusia bersih aqidah dan akhlaqnya serta kembali kepada fitrah yang diridhai Allah SWT, terutama bagi manusia yang memperoleh kekuasaan dan kesempatan. Pembinaan ke-Islaman yang intensif untuk memperbaiki aqidah dan akhlaq akan menciptakan suatu masyarakat yang utuh bersatu, tolong menolong, sehingga kesenjangan sosial yang saat ini kian menganga tidak akan tercipta lagi. Pembinaan ke-Islaman yang dilakukan secara intensif akan mengobati penyakit manusia langsung ke akarnya.

2. Adanya anggapan bahwa zakat identik dengan pajak, sehingga kalau sudah membayar pajak, tidak perlu lagi berzakat. Menurut Al Jufri dalam Ishlah (1995), hal ini benar disebabkan

a) Dasar adanya zakat merupakan manifestasi dari ketaatan kepada perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW, sedangkan dasar membayar pajak adalah ketaatan negara kepada ulil amri.

b) Zakat telah ditentukan kadarnya dalam Al Qur’an dan hadits, sedangkan pajak ditentukan oleh hukum dari masing-masing negara.

c) Zakat hanya dikeluarkan oleh kaum muslimin, sedang pajak dikeluarkan oleh setiap warga negara tanpa memandang agama dan keyakinannya.

d) Zakat berlaku bagi setiap muslim yang telah mencapai nishab tanpa memandang di negara mana dia tinggal, sedangkan pajak hanya berlaku pada batas garis teritorial suatu negara.

e) Zakat adalah suatu ibadah yang wajib didahului oleh niat, sedangkan pajak tidak demikian.

Sesungguhnya masih banyak lagi hal-hal yang membedakan antara zakat dengan pajak, yang pada umumnya masyarakat belum memahami secara benar mengenai jenis, perhitungan, maupun penyaluran dari zakat.

3. Syariat zakat termasuk kewajiban yang belum dilaksanakan secara baik pada tingkat komunitas ummat. Dijelaskan oleh Hidayat dalam Ishlah (1995), bahwa kelemahan dan kesalahan tersebut masih bertahan pada beberapa sisi. Misalnya, kewajiban zakat yang seharusnya dilaksanakan dengan otoritas sosial, topangan politis, dan yuridis, kenyataannya masih diserahkan kepada sukarelawan ummat. Yang ada baru perangkat untuk menampung zakat, belum untuk menarik zakat, sehingga cukup banyak orang-orang kaya yang lebih condong memberikan sumbangan sukarela dalam jumlah yang besar sehingga disebut dermawan, dari pada mengeluarkan harta itu sebagai zakat. Tentu saja ada juga dari para orang kaya yang telah sadar berzakat, tetapi sistem pengolahannya belum optimal. Oleh karena itulah banyak asset kekayaan kaum muslimin yang berada di tangan orang-orang kaya yang berkuasa dan memiliki kesempatan yang masih belum dibersihkan dengan zakat. Kondisi ini secara langsung mendukung terjadinya krisis ekonomi, sosial, moral, bahkan ekologi. Sebab Rasulullah SAW sendiri telah memperingatkan kaum muslimin, “Selama zakat masih bercampur dengan kekayaan, hanya akan berakibat kerusakan di dalam kekayaan itu sendiri” (HR. Imam Ahmad, An Nasai, dan Abu Daud). Bahkan masalah zakat itu bukan hanya masalah pengelolaan, tetapi lebih dari itu, persoalan zakat menyangkut masalah aqidah dan moral, sehingga Al Qur’an menegaskan bahwa belum tersosialisasinya zakat dengan baik merupakan salah satu fenomena kemusyikan (Fushilat: 7).

4. Beberapa tahun terakhir, berkembang di kalangan ummat adanya organisasi pengelola dana zakat (BAZIS). Akan tetapi amat disayangkan bahwa penyampaian sumber daya ummat tersebut masih sangat kariatif (kurang mencapai sasaran yang diinginkan). Menurut Munir dalam Hidayatullah (1996), banyak konsepsi yang berkembang bergerak dalam kerangka belas kasihan dan memberikan sesuatu yang bersifat sesaat, misalnya memberikan langsung kepada kelompok miskin dalam bentuk uang atau benda-benda konsumsi. Dalam konteks ekonomi, pola seperti itu hanya memperbesar pola konsumsi tanpa mengubah hakekat kemiskinan yang sedang terjadi. Dua sumber daya ummat terbesar yaitu dana dan manusia, amat sayang bila terarah dalam pekerjaan yang justru tidak mengarah pada pokok masalah. Yang perlu dilakukan pada dua sumber daya besar tersebut adalah penyatuan dan kerjasama yang kompak agar masyarakat miskin tidak hanya mendapatkan dana saja yang akan habis dalam sekejap, namun juga mendapatkan bekal bagaimana mengolah dana tersebut sebagai modal untuk mengembangkannya menjadi sesuatu yang bisa bertahan dalam waktu yang lama.

5. Penyimpangan dalam kepengurusan dan pengelolaan zakat. Menurut Sabiq (1990), yang dinamakan amil zakat ialah orang yang diberi tugas menggantikan imam atau wakilnya untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya. Termasuk dalam tugas mereka pula memeliharanya. Bila yang dizakatkan itu binatang ternak, maka dia bertugas menggembalakannya. Selanjutnya adalah mencatatnya bagi keperluan kedinasannya. Jadi, hendaklah upah amil zakat itu sebanding dengan kebutuhan pokoknya. Nabi SAW bersabda yang artinya:

Siapa yang diberi tugas oleh kami untuk mengurus suatu pekerjaan dan dia tidak punya tempat tinggal, maka dia mendapatkan rumah, apabila dia belum beristri, maka hendaklah dia beristri, apabila belum punya pelayan rumah, maka hendaklah dia mempunyai pelayan rumah, apabila belum punya kendaraan, maka hendaklah dia punya kendaraan dinas (hewan tunggangan). Siapa yang mendapat lebih dari itu, maka dia berbuat pengkhianatan (curang) (Riwayat Ahmad, Abu Daud, dan sanadnya sholih).

Semua itu hanyalah untuk memperlancar jalannya tugas amil, dan bukan memewahkannya, agar amil sebagai petugas negara mampu bertugas seoptimal mungkin, tidak tersita pikirannya untuk memikirkan keperluan hidup yang harus dia sediakan bagi keluarganya.

Pada saat ini, banyak sekali penyimpangan dari profesi sebagai amil zakat, antara lain:

a) Amil bukanlah orang yang ditunjuk oleh hakim atau imam, melainkan bersifat sukarela, sehingga rasa tanggung jawab terhadap tugasnya tidak sama dengan amil yang benar-benar ditunjuk oleh imam sebagaimana di zaman Rasulullah dan para sahabat.

b) Amil tidak mendapat gaji tetap dari pemerintah untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, adapun imbalannya hanya berupa haknya untuk mendapat bagian dari zakat yang terkumpul.

c) Selain bertugas untuk mengurusi zakat, amil juga memiliki profesi yang lain, dan biasanya justru profesi sebagai amil merupakan profesi sampingan. Ini adalah akibat dari poin (b) diatas.

d) Amil hanya bertugas menampung zakat, bukan menarik zakat dari para muzakki, sehingga orang-orang kaya yang enggan mengeluarkan zakatnya merasa terbebas dari kewajibannya, apalagi apabila amil memiliki rasa sungkan untuk menarik zakat dari orang-orang kaya yang berpengaruh di masyarakat, maka semakin lebarlah kesenjangan sosial dalam masyarakat.

e) Adanya beberapa kasus mengenai merosotnya moral dan tanggung jawab amil, sehingga muncul peristiwa korupsi zakat, yang mengakibatkan sasaran zakat tidak tercapai. Apabila hal ini diketahui oleh masyarakat, maka para muzakki akan enggan mengeluarkan zakatnya karena tidak ada lagi rasa percaya pada pengurus dan pengelola zakat.

Sebagai solusi perlu kiranya para pemuka agama yang dipercaya masyarakat menunjuk seorang amil yang beraqidah dan berakhlaq baik untuk mengurusi zakat, kemudian perlu juga menyediakan gaji tetap bagi amil tersebut sebagaimana gaji seseorang yang mempunyai mata pencaharian, sehingga amil tidak lagi mencari profesi lain untuk memenuhi kekurangan kebutuhan hidupnya, selain itu agar amil benar-benar konsekuen dan profesional terhadap pekerjaan dan tanggung jawabnya. Dengan demikian pengelolaan zakat akan benar-benar sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Islam dan masyarakat tidak akan berfikir dua kali untuk mengeluarkan zakatnya diakibatkan rasa tidak percaya pada pengurus dan pengelolaan zakat.

6. Belum adanya lembaga yang memenuhi kriteria pengelolaan dan pendistribusian zakat, infaq, dan shodaqoh. Kewajiban ummat Islam, seperti disebut di beberapa ayat Q.S Al Baqarah, adalah membelanjakan sebagian harta dalam bentuk zakat, infaq, dan shodaqoh. Dalam bahasa Al Qur’an, strategi yang ditempuh adalah ingin mencapai golongan mustahiq yang minoritas jumlahnya menjadi golongan muzakki (kelompok menengah) yang banyak jumlahnya. Persoalannya adalah bagaimana mekanisme yang tepat.

Menurut Bunasor dalam Al Muslimun (1994), saat ini diperlukan badan amil zakat, infaq, dan shodaqoh yang mampu memanage zakat, infaq, dan shodaqoh dengan baik dan efisien. Secara terinci badan amil yang ideal harus memperhatikan SISTEM, PERSONAL, dan DUKUNGAN.

Sistem yang dimaksud disini adalah bahwa badan amil harus memiliki dua fungsi: pertama, mengumpulkan, dan kedua, mendistribusikan. Dari segi pengumpulan, perlu dibuat semacam PETA dasar dari kelompok mampu (muzakki), yang meliputi siapa (orang, kelompok), dimana (tempat tinggal), dan berapa (kekayaan yang dimiliki). Apabila menggunakan ukuran pegawai negeri (PNS), siapa bisa berarti golongan III/a ke atas. Dengan diketahui kekayaannya, maka bisa dipetakan ke depan, misalnya bisa ditarget berapa persen dana yang harus terkumpul, dan dilakukan dengan cara kolektif atau individual, yaitu door to door. Ringkasnya, diketahui dengan jelas sisi penerimaan zakat, infaq, dan shodaqoh tersebut.

Dari segi distribusi, perlu dibuat semacam PETA DISTRIBUSI si mustahiqnya, menyangkut siapa, dimana, dan berapa. Juga mengenai teknis distribusinya, misal dengan langsung pada konsumen, terutama untuk zakat fitrah atau melalui proses terlebih dahulu (dana diubah dalam bentuk lain).

Sadar bahwa apa yang harus dicapai badan amil sangat jauh dari idealismenya, maka badan amil harus berusaha mendapat dukungan dari pemerintah, dan harus mempunyai obsesi, agar suatu saat nanti, dapat dikukuhkan dengan undang-undang sebagai hukum positif yang memaksa. Dengan kata lain, untuk konteks Indonesia, badan amil bisa efektif apabila telah diberi kedudukan hukum sejajar dengan lembaga pajak. Hal ini dapat diwujudkan misalnya melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar mendesak tuntutan legislasi lembaga pengelola zakat, infaq, dan shodaqoh kepada pemerintah.

Pendistribusian zakat, infaq, dan shodaqoh

Dalam lingkaran perekonomian (economic circle) seperti yang terjadi sekarang ini, kaum muslimin nyaris hanya menjadi konsumen belaka, baik di tingkat lokal mupun internasional. Ishlah (1994) menyebutkan bahwa secara kuantitatif dapat dikatakan bahwa 40% dari hasil kekayaan negeri ini (APBN 1994/1995 saja bernilai ± Rp. 54 Trilyun) hanya dinikmati oleh 20% saja dari seluruh penduduk, dan sebagian besar dari mereka adalah non muslim. Dengan kata lain, merekalah yang menikmati nilai tambah terbesar, dengan mengeduk setiap rupiah yang ada di kantong-kantong ummat Islam.

Apabila dihubungkan dengan pertanyaan, kemana arah dana zakat, infaq, dan shodaqoh yang merupakan dasar/landasan ekonomi Islam? Maka salah satu jawabannya adalah karena pendistribusian zakat, infaq, dan shodaqoh selama ini bersifat tidak mendidik ummat. Dikatakan tidak mendidik ummat karena dana zakat, infaq, dan shodaqoh yang diberikan pada kaum dhuafa berwujud uang atau benda-benda konsumsi yang akan habis dalam sesaat.

Dalam rangka mengentaskan kemiskinan dan mengangkat taraf hidup kaum dhuafa, maka sistem pendistribusian zakat, infaq, dan shodaqoh harus diubah, yaitu dengan cara memberikan kail pada mereka, bukan ikan, dengan harapan bahwa melalui kail tersebut mereka akan mampu mencari ikan sendiri. Bentuk-bentuk kail ini bias bermacam-macam, sebagaimana yang telah dilakukan oleh LAGZIS (suatu lembaga yang menangani dana zakat, infaq, dan shodaqoh). Dana zakat, infaq, dan shodaqoh yang telah dikelola dengan baik, diberikan dalam beberapa bentuk, antara lain:

1. Skill (ketrampilan)

Dalam hal ini LAGZIS merekrut orang-orang yang memiliki ketrampilan agar mengajarkan ketrampilan yang mereka miliki pada kaum dhuafa. Adapun ketrampilan-ketrampilan yang diberikan adalah yang bersifat wirausaha, yaitu: menjahit, membuat kue, membatik, menyulam, kerajinan tangan (membuat keramik, hiasan-hiasan dinding, taplak meja, sulak, keset, kaligrafi, buket-buket bunga), pertukangan, mengelas, menyablon, menjilid, foto copy, membuat bakso, dan sebagainya.

2. Alat-alat Wiraswasta

Misalnya mesin jahit, perangkat pertukangan, bengkel, las, sablon, mesin penjilidan dan foto copy, gerobak bakso, perangkat pembuat kue, alat-alat untuk membatik, dan sebagainya.

3. Modal

LAGZIS menyediakan modal pada kaum dhuafa yang berminat untuk berwirausaha. Dalam hal ini LAGZIS bekerja sama dengan BMI (Baitul Mal wat Tamwil), yaitu bank yang berdiri di atas landasan syariah, dimana dalam setiap operasinya tidak mengandung riba. Berbeda dengan bank-bank komersial yang cenderung mencari keuntungan, LAGZIS, BMI, maupun BMT merupakan produk baru ummat Islam yang didirikan ummat Islam, beroperasi dengan syariah Islam, dan bertujuan untuk mengangkat taraf hidup ummat Islam.

Dengan demikian kaum dhuafa tidak hanya bisa menerima dana zakat, infaq, dan shodaqoh saja, namun lebih dari itu, mereka mampu mengembangkannya menjadi wirausaha yang mandiri sebagai sumber mata pencaharian.

Selanjutnya dengan perencanaan yang matang, strategi dan penanganan yang profesional, serta pengembangan yang aktif, maka Insya Allah bentuk-bentuk wirausaha tersebut dapat membidik pasar eksternal (tidak hanya internal di kalangan kaum muslimin), hingga pada akhirnya wirausahawan muslim akan mampu menguasai rantai produksi ekonomi sepanjang mungkin. Ini tidak hanya menjamin stabilitas usaha, tapi juga membuat posisi tawar (bargaining position) yang lebih kuat terhadap para pesaing pasar bebas yang saat ini didominasi oleh orang-orang non muslim.

Eksistensi Zakat, Infaq, dan Shodaqoh dalam Alam Kapitalistis.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi ekonomi ummat Islam saat ini sangat dipengaruhi oleh sistem ekonomi Barat (kapitalis) yang memegang azas liberal (kebebasan). Semua bidang-bidang ekonomi berada di bawah pengaruhnya, dengan prinsipnya yang terkenal, yaitu siapa yang kuat, dialah yang menang.

Berapapun dana zakat, infaq, dan shodaqoh yang terakumulasi dan tersalurkan kepada rakyat kecil sarta kaum dhuafa, muaranya akan tetap sama, yaitu disedot oleh praktek monopoli, selama pemerintah tidak membenahi sistem ekonomi. Dijelaskan oleh Sudewo dalam Ishlah (1995), bahwa berapapun banyaknya dana yang terkumpul dari para Muzakki, berapapun tingginya tingkat profesionalitas dan kejujuran para amilin di dalam pengelolaan zakat tersebut, dan berapapun lancarnya penyaluran dana tersebut kepada kaum dhuafa, selama sistem yang berlaku belum Islami maka tetap tidak akan dapat memperbaiki kondisi kaum dhuafa. Kaum dhuafa akan tetap hidup dalam alam yang penuh marginalitas. Mereka akan tetap berada di dalam lilitan kemelaratan yang tiada habis-habisnya, akan tetap tinggal di dalam kubangan air mata kesedihan, sebab semua modal yang didapat dari dana zakat, infaq, dan shodaqoh, tetap saja tersedot masuk ke dalam pusaran sistem pasar yang menganut prinsip Survival The Fittest, siapa yang kuat maka dialah yang meraih kemenangan. Konsekuensinya, siapa yang bermodal setengah-setengah atau pas-pasan, dapat dipastikan mereka akan gulung tikar.

Ditambahkan oleh Cecep dalam Ishlah (1995), bahwa sesungguhnya pengelolaan zakat di dalam suatu negara harus didukung oleh empat hal, yaitu:

1) Power (kekuatan), yaitu dukungan tokoh politik.

2) Public Relation (hubungan masyarakat), yaitu dukungan dari tokoh masyarakat.

3) Politics (lembaga-lembaga politis) seperti DPR atau parlemen.

4) Promotion (pemberitahuan kepada khalayak) seperti lewat media massa, dan lain-lain.

Bila keempat hal ini telah dipenuhi, maka Insya Allah pengelolaan zakat dapat mencapai hasil yang diinginkan bersama.

Salah satu kendala dari ketidakberdayaan zakat, infaq, dan shodaqoh adalah apabila harus dihadapkan pada tembok tebal sistem kapitalisme yang saat ini semakin gencar. Padahal zakat merupakan instrumen utama ummat di dalam meningkatkan taraf hidupnya. Jika sholat merupakan tiang agama, boleh dibilang zakat merupakan tiang ekonomi ummat. Meninggalkan sholat artinya meruntuhkan agama, lalai zakat berarti telah meruntuhkan ekonomi ummat. Jadi, ingkarnya muzakki, andilnya telah turut dalam proses pemiskinan ummatnya sendiri.

Sebagai tambahan, Sudewo dalam Ishlah (1995) menunjukkan bukti betapa proses pembangunan nasional yang kini telah masuk PJP II ini, sesungguhnya bukanlah mengentaskan kemiskinan, tetapi menetaskan kemiskinan, dan pembangunan real estate serta jalan layang itu lebih memiskinkan ummat dari pada membuat mereka makmur. Dengan kondisi yang terus menerus seperti ini, atau mungkin lebih parah lagi, eksistensi zakat di dalam mengentaskan kemiskinan hanyalah harapan yang semu semata. Pengentasan kemiskinan di dalam Islam harus didukung sepenuhnya oleh dua instrumen, yaitu: pertama, pengarahan dan bimbingan agama. Kedua, kepastian hukum negara. Disini diperlukan seperangkat hukum dan lembaga yang memiliki landasan yang kuat untuk memaksa ummat muslim yang mampu untuk membayarkan zakatnya.

Untuk poin pertama, mungkin perlu kerja keras. Sistem telah membuat hati sebagian besar ummat membatu, bahkan tidak peka lagi terhadap kemiskinan sesamanya. Poin yang kedua masih bisa diupayakan, namun memerlukan persiapan yang benar-benar matang dan lama. Ini mau tidak mau, akan mempengaruhi sistem yang kini sedang jaya-jayanya.

Penutup

Zakat merupakan landasan ekonomi Islam, soko guru muamalat, dan tiang perekonomian ummat, disamping itu zakat, infaq, dan shodaqoh apabila dilaksanakan sesuai dengan yang dikehendaki Islam maka pasti mampu mengentaskan kemiskinan, karena zakat, infaq, dan shodaqoh mengobati permasalahan ekonomi ummat langsung ke akarnya.

Beberapa sebab kurangnya kesadaran ummat untuk menunaikan zakat, infaq, dan shodaqoh antara lain:

1. Merosotnya aqidan dan akhlaq ummat Islam

2. Adanya anggapan bahwa zakat identik dengan pajak.

3. Pengelolaan dan pendistribusian zakat yang belum optimal.

4. Pemberian dana (zakat, infaq, dan shodaqoh) pada masyarakat masih berpola dan berakibat konsumerisme.

5. Adanya penyimpangan-penyimpangan dalam pengelolaan dan kepengurusan zakat, infaq, dan shodaqoh.

6. Kurangnya lembaga-lembaga yang menangani dana infaq dan shodaqoh.

Solusi yang bisa dilakukan untuk menghidupkan kembali kesadaran dan eksistensi zakat, infaq, dan shodaqoh antara lain:

1. Dengan cara da’wah serta tarbiyah Islamiyah kepada masyarakat, terutama individu yang memiliki kekuasaan dan kesempatan, untuk meluruskan aqidah dan akhlaq mereka terhadap arti penting zakat, infaq, maupun shodaqoh.

2. Membentuk badan amil yang mampu mengoptimalkan pendistribusian sesuai kondisi sasaran serta meluruskan pengelolaan dan kepengurusan zakat, infaq, serta shodaqoh dari penyimpangan-penyimpangan.

3. Mengeksistensikan zakat, infaq, dan shodaqoh dengan cara mencari dukungan dari kekuatan politik, tokoh masyarakat, lembaga-lembaga masyarakat, serta media massa.

4. Memberikan kepastian hukum bagi para muzakki yang enggan mengeluarkan zakatnya.

_____ Allahu A’lam bis Showab _____

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia

Bunasor dan Sulaiman T.A.M. dalam Al Muslimun No. 287/Tahun XXIV (40),

1994, Bangil, hal. 94-96.

Hidayat, Sudewo, Cecep, dan Al Jufri dalam Ishlah No. 37/Tahun III, 1995,

Jakarta, hal. 19-21.

Ishlah No. 16/Tahun II, 1994, Jakarta, hal. 8

Mubiyarto, Pedoman Zakat, Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf, 1982,

Jakarta.

Nuryufa dalam Ishlah No. 44/Tahun III, 1995, Jakarta.

Sabiq, S., Fikih Sunnah, Diterjemahkan oleh Mahyudin Masyhur, 1990, Kalam

Mulia, Jakarta.

Saktiawan, R. dalam Al Muslimun No. 302/Tahun XXVI (42) Mei 1995, Bangil,

hal 69.

1 komentar:

nadnaay mengatakan...

Alhamdulillah sangat membantu untuk tugas kuliah:) terimakasih:)